Rabu, 26 Agustus 2020

Selamat Ulang Tahun, Iki


Tidak banyak foto yang saya abadikan bersama dia, tapi di foto ini saya ingat sedang menggandeng Iki yang lain. Iki yang tidak pernah ikut ekskul, selalu meminta jawaban pr fisika saya, remedial ulangan biologi, dan bahkan mungkin saat itu hanya saya yang mau berteman dengan dia.

Sekarang dia sudah bekerja di tempat yang layak, dua minggu sebelum ia sidang skripsi, tidak pernah gugup lagi berbicara di depan ratusan orang, tergabung dalam banyak organisasi dan komunitas, membaca lebih banyak buku dari pada saya, dan pernah menjadi pembicara di aula sekolah yang dulu tidak pernah ia datangi karena malas. Sungguh acuan pencapaian yang untuk saya sendiri, sulit untuk dikejar.

Satu hal yang tidak berubah dari dia adalah keras kepalanya saat menginginkan sesuatu. Selamat ulang tahun, Rizki Alifian. Ucapan yang pendek ini, dititipkan kebaikan yang panjang umur.

Rabu, 03 Juni 2020

Terlambat


Kamu itu kalau mau dibilang ganteng sih nggak, gak begitu smart juga. Biasa-biasa aja, tipe laki-laki yang gak peduli penampilan malah. Tapi malem itu aku duduk di depan kamu, nangis sesegukan. Sesekali kamu meluk, bilang kalau aku bisa ngelewatin semua ini, dan bahagia lagi. Standar respon cowok yang lagi dicurhatin temen cewek yang abis putus gitu lah.
Semenjak itu degup gak pernah lagi selain kamu. Kita hampir selalu malem mingguan bareng. Tapi hubungan ini tih toxic banget, dibilang pacaran nggak, kalau pun temenan, seharusnya bibir kamu gak pernah mendarat di keningku.
Kita sama-sama gak punya pacar, tapi gak ada tuh yang tau pasti lagi deket sama siapa aja, setau aku yang paling intens ya sama aku doang. Aku sayang sama kamu, dan kamu juga pernah bilang hal yang sama.
Menurut kamu, dalam beberapa hal, aku tuh bisa diandalkan. Tapi menurut aku, kamu nggak. Ya gimana mau diandalkan, kalo kamu aja gak perhatian. Gak pernah tuh kamu nanya “ada cerita apa hari ini?”, “kamu sibuk ngapain sih?”, atau “makan dulu gih, nanti nugasnya dilanjut lagi”. Padahal hal-hal kecil kayak gitu berarti banget buat aku, tapi gak pernah sekalipun terucap dari kamu. Kamu cuma ngejawab pertanyaan aku aja setiap hari, seperlunya.
Menurut aku, di beberapa kondisi, kamu tuh manis kadang-kadang. Setiap bulan terang dan bulat dengan sempurna, kamu suka tiba-tiba ngirimin foto langit sambil bilang “moon, liat ke luar deh. I love you to the moon and back”, atau kalau aku lagi gak mood, tiba-tiba kamu bawain susu strawberry sama es krim rasa vanilla. Walau gak jarang juga aku ngerasa diperlakukan gak adil. Kayaknya kamu tuh sulit banget ngehargain posisi aku, belum lagi banyak hal-hal baru yang ternyata lebih menarik buat ngisi hari-hari kamu, dibanding aku.
Dalam beberapa momen juga, aku sering ngerasa capek, ngerasa cukup, dan pengen udahan dari sesuatu yang gak bernama ini. Di kepala aku banyak banget pertanyaan tentang apa sih yang ada di pikiran kamu, pernah gak sekali aja aku lewat di sana? Dan suatu hari aku pernah bikin list “hal-hal yang membuat kita gak bersatu”, panjang banget. Sampe aku kaget sendiri, ternyata emang sesulit itu untuk jadi kita.
Akhirnya aku ragu sama diri sendiri, pelan-pelan aku mulai jadi pahit. Padahal yang bikin kayak gini juga kamu. Terus aku mundur perlahan, karena yang ada di kepala aku tuh cuma “ah gak ada aku juga kamu masih bisa sama yang lain”.
Aku hidup berbulan-bulan tanpa kamu, mulai menghilangkan kebiasaan-kebiasaan kita, dan udah terbiasa kalo kamu gak ada pas aku pengen makan bubur tengah malem. Tapi tiba-tiba kamu dateng lagi, kamu bilang, gak ada yang lebih paham, pengertian, dan lebih sabar sama kelakuan ajaib kamu selain aku. Pokoknya kali ini kamu terlihat lebih yakin, kalo aku tuh satu-satunya. Tapi sayang banget, di saat bersamaan juga, aku sadar ternyata selama ini bukan kamu orangnya.
Selamat ya, kamu telat menyelamatkan apa yang seharusnya kamu jaga baik-baik. Lain kali, mungkin kamu harus lebih peka, kalo hidup itu bukan cuma tentang kamu. Tapi juga tentang orang yang diem-diem doain kesehatan kamu setiap hari, tapi kamu malah memilih untuk gak peduli.

Selasa, 18 Februari 2020

How Was Your Day?


Sudah satu jam aku duduk di kedai es krim ini. Sesekali membuka gawai, tetap tidak ada kabar, ternyata.
Kau tahu, aku baru saja membeli rok cokelat muda ini, yang aku padu padankan dengan baju rajut berwarna senada. Cukup lama aku berdandan di depan cermin, mencampur beberapa warna gincu di bibir, memberi sedikit rona merah muda di pipi, tak lupa alisku gambar dengan sangat hati-hati agar presisi antara kanan dan kiri.
“Dor!”
Kau membuyarkan lamunanku.
“Maaf ya aku telat, di jalan macet banget soalnya. Hehe.”

Ya Tuhan, sudah hampir satu bulan aku tak melihat senyuman ini. Senyuman yang membuatku tak ingin kemana-mana, selain menuju ia. Akhirnya laki-laki berbaju hitam dengan jaket biru ini ada di hapadanku juga.

“Kamu mau pesen apa?”
“Aku mau banana split aja deh, kamu?”
“Vanilla ice cream with oreo.” Jawabku kemudian.

Pesanan tiba, dan kamu masih diam seribu bahasa.
“Gimana kerjaan kamu?”
“Lancar. Gak ada masalah kok.”
“Oh iya, Ayahnya temen kamu yang minggu lalu masuk rumah sakit gimana kabarnya? Udah sembuh?”
“Udah pulang ke rumahnya.”

Kamu mulai membuka gawai, dan tertawa kecil entah karena apa.
“Kamu sampe hari apa sih libur? Aku pengen nonton deh, terus beli buku statistik yang lagi kamu cari, atau makan di resto seafood di deket sini. Kamu mau kan?”
“Iya, nanti aku usahain ya.”
“Kamu laper gak sih? Abis ini kita nakan dimsum yuk.”
“Aku gak laper.”
“Kalau aku traktir sate, masih gak laper juga?”

Kamu hanya diam, fokus pada gawai yang sedari tadi tak lepas dari genggamanmu. Aku bukan lagi pusat perhatianmu.
Ada malam yang ku habiskan dengan menangis. Pilu, saat kau tak lagi menanyakan kegiatanku, saat kamu sulit sekali dihubungi, dan saat kamu tak mengirim foto tentang keseharianmu.
Aku mengerti sibukmu.
Aku mengerti keangkuhanmu.
Aku mengerti ketidakpedulianmu.
Memangnya apa lagi yang tidak aku megerti tentangmu?
Jarak belasan kilometer itu hanya satuan rindu yang dulu, rela kau pangkas demi aku. Sekarang, jarak kita hanya satu hasta, namun terasa begitu jauh.
Kau sedang memikirkan apa?
Adakah aku di kepalamu?
Begitu banyak pertanyaan, es krim mulai mencair, kamu semakin dingin.
“Sayang, i love you.”
Tidak ada jawaban, hanya mata kita yang beradu, dan tidak lagi ada aku di situ.

Selasa, 12 November 2019

Selamat Tahun Baru, Tuan


Saya pernah dekat dengan beberapa jenis laki-laki, ada yang mencoba mendekati dengan puisi, bunga, bernyanyi, dan hal-hal chessy lainnya, yang akan membuat orang lain berpikir “ah, so sweeeeeet.”
Bahkan, 3 taun terakhir, di hari ulang tahun saya, bunga dalah hal yang pasti selalu ada. Saya hampir hidup berdampingan dengan hal-hal yang menurut standar perempuan, romantis.
Baik, hal itu membuat saya tersenyum, lalu berakhir begitu saja. Saya ulangi, begitu saja.
Pemahaman saya tentang romantis mungkin telah bergeser, karena menurut saya, romantis bukan perihal “cara” tapi ‘kemauan”.
Laki-laki ini, tidak pernah sekalipun menuliskan saya puisi, tapi berhasil membuat saya kegirangan merasa dimiliki.
Saya lupa kapan saya bilang suka minum Yakult, tidak suka makanan yang terlalu manis, dan malas memakan keripik pedas. Dan ya, ia ingat semua detailnya, yang ia bawa dalam sekantung pelastik jajanan kesukaan saya, di malam setelah ia pulang kuliah.
Saya yakin, ada banyak perempuan yang berpikir sejalan, adalah (ternyata) akan tersenyum saat diberi bunga, diberi keripik kentang akan sangat bahagia. Yang akan  mengucapkan “terima kasih” saat diberi puisi, tapi akan terharu sambil memeluk saat diberi koyo, vitamin, dan es krim saat jaga malam di rumah sakit.
Romantis adalah tentang mengingat pasanganmu yang belum makan malam, tentang ia yang menunggu waktu luang hanya untuk tau apa yang kamu lakukan seharian melalui pesan suara, tentang kecup di kening saat harus pulang ke rumah masing-masing karena bulan semakin meninggi.
Selamat ulang tahun, kamu. Yang selalu meminta maaf karena tidak bisa mengekpresikan cintanya dengan baik. Kamu tau tidak, di hari saya mengucapkan “iya” untuk menjadi bagian dari hidupmu, saat itu juga saya merasa digenapkan, merasa lebih dari cukup.
Semoga di usiamu yang baru, menjadikanmu pribadi yang lebih baik, berkembang, dan lebih bijak dalam menghadapi masalah. Dilimpahkan banyak kebahagiaan, dijauhkan dari kesedihan. Aamiin paling keras untuk setiap mimpi-mimpi yang kau semogakan, dan (semoga) saya bisa tetap di sini, menemanimu mencapainya satu persatu.
Terima kasih telah menjaga privasi saya dengan tidak menggunggah foto kita berdua di lini masa yang disertakan lokasinya.
Terima kasih, telah membiarkan saya tetap memiliki kehidupan sendiri. Sebuah hal sederhana, yang pada praktiknya, tidak semua pasangan memiliki kesadaran yang sama.
Saya cinta kamu, saat kamu diam karena cemburu, juga saat sebal menghadapi saya yang terlampau rindu.

Sabtu, 06 Juli 2019

Yang Lupa Ku Syukuri

Aku hanya ingin menulis ini. Entah untuk yang terakhir, atau nanti ada lagi.


Aku tidak pernah bingung, tentang bagaimana kau berpikir. Mengapa kau mengutuk es krim dan cokelat, tapi akan melumat habis yang ada di bibir ku. Mengapa kau selalu menolak makan kepiting, tapi diam-diam menghabiskan kerang saus padang pesanan ku. Dan kau selalu benci menggenggam tangan ku : "emangnya mau nyebrang?", tapi parkiran suatu mall pernah penuh oleh gema tawa mu saat menggendong tubuh ku "berat banget kayak karung beras".
Meski datang tanpa panduan, aku ingin menjadi yang termahir menerjemahkan mu. Dalam nihil cahaya, atau sekuat kuatnya lampu penerangan GBK. Dalam mode super tabah mu, atau sedang buas-buasnya kalau diganggu main game. Dalam wangi atau bau keringat orang sehabis naik motor. Pula dalam keadaan ketika kamu menyerah pada ketidak kuasaan mu menerjemahkan ku satu persatu.
Sebab rumah adalah tempat, dimana kau bisa menjadi diri mu seutuhnya. Walau kita sedang dalam perjalanan yang tak pernah sampai, selalu berhenti setiap terlalu jauh, terus berjalan meski lelah, dan mundur lagi karena terlalu dekat. Ku cinta kau dalam hening lelap tidur mu, hingga bising pinta ku untuk mu tetap menetap lebih lama dari selamanya.

Rabu, 30 Januari 2019

Berhenti

Sungguh aku tak bisa menjadi biasa saja. Karena sumpah demi Tuhan, rasa ini masih ada.
Mengenang senyum mu, sebenarnya aku tak ingin. Tapi seperti apa pun ketakutan dalam hidup, ia selalu mengejar ku hingga dada ini tak sanggup lagi berdegup.
Kau ada di setiap lagu yang ku dengar, kopi yang setiap pagi ku seduh, merupa hujan tengah malam, atau petugas bank yang kebetulan bajunya tercium parfum mu.
Langkah ku seringan permen kapas. Berharap cepat sampai ke tujuan, tak pernah lelah, namun di sana tak ada lagi kamu.
Pesta semalaman, lampu pinggir kota, bising di telinga, sungguh hura-hura yang percuma, jika setiap pagi yang ku tanya adalah "kau dimana?"
Akan ku jawab "iya", tapi tawaran dari mu tak pernah benar-benar ada. Sebab aku tak pernah cukup, membuat mu untuk tetap tinggal.
Aku rindu pada diri ku yang sebelum mengenal kamu. Yang tak perlu repot merapikan hati saat dengan sengaja kau acak-acak rambut ku. Yang tak perlu khawatir saat lambat laun ingatan mu tentang ku menyusut.
Aku terlalu jauh dari raga mu yang sekarang entah di dekap siapa. Semesta menarik semuanya dengan kuat, kecuali perasaan ku.
Menyesakan rasanya melihat mu tertawa, bukan karena aku tidak mau kau bahagia. Tapi karena ternyata, bukan aku lagi yang menjadi sebabnya.
Kini segala ingin hanya sekedar angan. Pada apa-apa yang ku semogakan, pada setiap syukur yang ku panjatkan, pada hal yang kau sebut cinta tapi tak pernah kau usahakan. Aku kalah.

Sabtu, 15 Desember 2018

Selalu Ada Alasan

"How was your day? Aku baru pulang latihan nih. Kamu udah mandi?"
Pesan yang tak pernah bosan ia kirimkan setiap malam. Yang akan saya balas dengan panjang lebar, sambil senyum-senyum dengan debar.
Semenyenangkan ini jatuh cinta. Saat ia ingat rasa es krim kesukaan saya, seberapa cintanya saya pada Sheila On 7 dan Cold Play, tau bahwa saya tak suka orang yang cerewet, juga tau pada penulis yang saya baca karya-karyanya.
Lalu kita saling menyebut sebagai bagian dari hidup. Seolah jarak bukan lagi satuan yang mesti di khawatirkan.
Tapi perlahan, duka mulai muncul ke permukaan. Ia yang terlalu sibuk, saya yang terlalu manja. Dan menyalahkan jarak sebagai dalangnya.
Meninggalkan menjadi jalan yang saya ambil. Meski pernah saya utarakan, betapa saya jatuh cinta pada cara ia berpikir, matanya yang coklat, pada aroma tubuhnya, kejutan-kejutan kecil yang ia kirim dari belahan bumi yang lain, juga segudang prestasi yang telah ia raih, tak cukup menjadi alasan untuk saya tetap tinggal.
Seolah saya lupa, sulitnya menuju ia. Karena meninggalkan, selalu ada alasan. Dan ironisnya, alasan itu telah hadir sejak pertama kita berikrar untuk saling mengasihi.
Padahal tak ada aturan baku untuk mencintai seseorang. Tapi mengapa, meninggalkan begitu mudah dilakukan?
Setiap karena mulai bermunculan, kadang benar, tak jarang dikarang-karang. Meninggalkan, selalu ada alasan. Saya tidak pernah menyesal telah pergi darinya. Saya hanya malu, jika menengok pada masa yang itu. Betapa saya, ternyata begitu pengecut untuk jujur bahwa saya bosan. Dan malah tak berusaha memperbaiki keadaan.
Terima kasih, untuk tidak menghabiskan waktu mu untuk tetap tinggal bersama saya, yang gagah meninggalkan saat kau dengan gigih mencintai saya tanpa alasan.