Sudah satu jam aku duduk di kedai es krim ini.
Sesekali membuka gawai, tetap tidak ada kabar, ternyata.
Kau tahu, aku baru saja membeli rok cokelat muda
ini, yang aku padu padankan dengan baju rajut berwarna senada. Cukup lama aku
berdandan di depan cermin, mencampur beberapa warna gincu di bibir, memberi
sedikit rona merah muda di pipi, tak lupa alisku gambar dengan sangat hati-hati
agar presisi antara kanan dan kiri.
“Dor!”
Kau membuyarkan lamunanku.
“Maaf
ya aku telat, di jalan macet banget soalnya. Hehe.”
Ya Tuhan, sudah hampir satu bulan aku tak melihat
senyuman ini. Senyuman yang membuatku tak ingin kemana-mana, selain menuju ia.
Akhirnya laki-laki berbaju hitam dengan jaket biru ini ada di hapadanku juga.
“Kamu
mau pesen apa?”
“Aku
mau banana split aja deh, kamu?”
“Vanilla
ice cream with oreo.” Jawabku kemudian.
Pesanan tiba, dan kamu masih diam seribu bahasa.
“Gimana
kerjaan kamu?”
“Lancar.
Gak ada masalah kok.”
“Oh
iya, Ayahnya temen kamu yang minggu lalu masuk rumah sakit gimana kabarnya?
Udah sembuh?”
“Udah
pulang ke rumahnya.”
Kamu mulai membuka gawai, dan tertawa kecil entah
karena apa.
“Kamu
sampe hari apa sih libur? Aku pengen nonton deh, terus beli buku statistik yang
lagi kamu cari, atau makan di resto seafood di deket sini. Kamu mau kan?”
“Iya,
nanti aku usahain ya.”
“Kamu
laper gak sih? Abis ini kita nakan dimsum yuk.”
“Aku
gak laper.”
“Kalau
aku traktir sate, masih gak laper juga?”
Kamu hanya diam, fokus pada gawai yang sedari tadi
tak lepas dari genggamanmu. Aku bukan lagi pusat perhatianmu.
Ada malam yang ku habiskan dengan menangis. Pilu,
saat kau tak lagi menanyakan kegiatanku, saat kamu sulit sekali dihubungi, dan
saat kamu tak mengirim foto tentang keseharianmu.
Aku mengerti sibukmu.
Aku mengerti keangkuhanmu.
Aku mengerti ketidakpedulianmu.
Memangnya apa lagi yang tidak aku megerti tentangmu?
Jarak belasan kilometer itu hanya satuan rindu yang dulu, rela kau pangkas demi
aku. Sekarang, jarak kita hanya satu hasta, namun terasa begitu jauh.
Kau sedang memikirkan apa?
Adakah aku di kepalamu?
Begitu banyak pertanyaan, es krim mulai mencair,
kamu semakin dingin.
“Sayang,
i love you.”
Tidak ada jawaban, hanya mata kita yang beradu, dan
tidak lagi ada aku di situ.